Monolog Paramita: Nadi Perlawanan Nyai Ontosoroh dalam Era Modern

jateng. , SEMARANG - Tiga pria dalam sebuah klub malam sedang bergoyang dan merasakan kesenangan saat berdansa wine Lampu yang berkedip-kedip disertai dengan musik kencang menghanyutkannya ke dalam kenikmatan.
Ketertarikan timbul saat seorang wanita mendekati mereka. Dampingan efek yang mempesona berbalas-balasan sampai hampir tidak dapat dikendalikan dalam kegaduhan kota.
Itulah cuplikan pembuka dari pementasan monolog berjudul Paramita yang diproduksi oleh HAE Teater di Gedung Serbaguna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (UNDIP) di Semarang pada hari Rabu, 30 April malam itu.
Naskah karangan Anton Sudibyo tersebut dipilih sebagai bentuk penghargaan atas seratus tahun kelahiran sang penulis. Pramoedya Ananta Toer .
Indah Sri Nofitasari memerankan Paramita di bawah arahan sutradara Nila Dianti; ceritanya membawa kita ke dalam narasi tersebut. Nyai Ontosoroh Di Bumi Manusia hingga era modern.
Denyut perlawanan seorang perempuan Pemuda yang ditawarkan oleh sang bapak akhirnya menjadi istri gelap yang tidak diakui pemerintah, sehingga buah hatinya dicabut hak asuhnya serta usaha keluarganya dimusnahkan.
"Yang perlu kuberantas saat ini bukan hanya seorang pria atau rumah besar, melainkan sebuah dunia beserta seluruh isinya," demikian ungkap si aktris tersebut.
Penampilan teater ini cukup interaktif saat menggambarkan masa kecil Paramita yang selalu bahagia bersama kawank-kawan sebayanya.
Aktris ikut membawa sejumlah besar penggemar terlibat dalam pertunjukan tersebut sambil bernyanyi lagu bertitel Kalau Kau Suka Hati.
"Bahkan setelah menghadapi seorang seperti Ontosoroh, jika ia ternyata kalah, Paramita tidak berniat untuk menyerah dengan mudah. Dia sendiri mulai merintis usaha dari awal lagi, bertarung agar bisa mencapai keberhasilan serta perfection yang selalu menjadi impian dirinya," jelas Nila Dianti.
Di sisi lain, Anton Sudibyo menyebut bahwa Ontosoroh dikisahkan tinggal pada era kolonial. Belanda Namun, ceritanya masih sering dialami oleh banyak wanita Indonesia saat ini.
"Wanita terpaksa menjadi pelacur atau isteri sewaan yang sangat banyak jumlahnya, jika kita menghargai Ontosoroh, mengapa kita tidak dapat menghormati wanita-wanita kuat lainnya di luar sana beserta semua cerita perjuangan dan pengurbannaya?" kata dia.
Pentas yang berlangsung kurang dari 60 menit tersebut adalah produksi nomor delapan dari Himpunan Alumni Emka sejak organisasi ini didirikan pada tahun 2019.
Pentas monolog Ini mencakup tiga pemeran yang membuka acara tersebut. Mereka adalah Syarif Ubaidillah, Ponco Adi Nugroho, dan Mahran Nazih.
Produksi kelompok teater jebolan Undip Ini juga melibatkan Aristya Kusuma Verdana si pemain Musik. ambient yang mengatur musik sambil menggunakan AI atau kecerdasan buatan. (wsn/jpnn)
Posting Komentar