Menyelami Gelombang Quiet Quitting dalam Dunia Kerja Saat Ini

Budaya organisasi memiliki peranan signifikan dalam mendefinisikan pandangan serta tindakan para pekerja, termasuk cendrungannya untuk mengikutsertakan dirinya dalam apa yang disebut sebagai silent quitting. Perbincangan tentang silent quitting atau resign tanpa pemberitahuan semakin marak di kalangan profesional. Dr Fajrianthi M Psi Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) juga ikut menyuarakan keprihatinannya akan tren ini.
Fajrianthi mengatakan bahwa silent quitting merupakan respons terhadap sejumlah tekanan di lingkungan kerja, termasuk ketidaksukaan pada pekerjaan, tidak adanya keseimbangan antara hidup pribadi dan profesional, kondisi kelelahan akibat beban kerja, serta manajemen atasan yang kurang baik.
"Phenomenon ini timbul saat pekerja merasa tak mendapatkan dukungan, hilangnya keterikatan dengan perusahaan, atau berada di lingkungan yang menekan," jelas Fajrianthi dalam rilisnya sebagaimana dilaporkan Basra, Rabu (30/4).
Dari sudut pandang ilmu psikologi, silent quitting bisa diinterpretasi lewat teori engagement yang menggambarkan bahwa minimnya partisipasi emosional dapat menyebabkan perilaku defensif semacam ini. Kemudian ada juga embeddedness theory yang membahas tentang kondisi pekerja yang sudah tidak lagi merasa terhubung secara emosi dengan tempat kerjanya, tapi masih bertahan karena faktor-faktor luar seperti pertimbangan finansial, sehingga mereka lebih memilih untuk diam-diam berhenti bekerja tanpa pemberitahuan formal kepada atasan atau manajemen. Di samping itu, model Job Demands-Resources (JD-R) menekankan pada dampak dari ketimpangan antara tantangan kerja yang besar dan jumlah sumberdaya yang tersedia menjadi penggerak potensial bagi rasa letih serta meningkatnya kemungkinan individu akan melakukan penarikan diri dalam bentuk apapun termasuk silent quitting.
Selanjutnya, Fajrianti menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor psikologis yang bisa memicu silent quitting, termasuk kelelahan disebabkan oleh tekanan pekerjaan jangka panjang, rasa tidak puas di tempat kerja dikarenakan minimnya apresiasi, kurang adanya dukungan dari perusahaan, dan juga lingkungan kerja yang racun.
Dia juga menjelaskan bahwa berdasarkan beberapa artikel ilmiah tentang hasil penelitian, fenomena tersebut sering kali muncul di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Kelompok usia itu lebih memilih untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan pribadi dengan karier serta mencari tujuan dalam pekerjaannya. Dia melanjutkan, “Apabila ekspektasi ini tak tercapai, mereka akan mulai menarik diri secara emosional dari tempat kerjanya.”
Meskipun begitu, permasalahan quiet quitting yang terus-menerus bisa memiliki efek merugikan pada keadaan jiwa seseorang. Terkait hal itu, Fajrianthi menggarisbawahi bahwa lingkungan kerja organisasi sangat vital untuk mencegah atau bahkan memburuknya kondisi quiet quitting. Suasana kerja yang sehat serta adanya komunikasi yang transparan dan pemberian dukungan sungguhan kepada para pekerja akan membantu meningkatkan partisipasi mereka.
"Sebaliknya, budaya negatif yang ditandai dengan struktur hierarki yang rigid, rendahnya tingkat kejelasan, serta persaingan di antara sesama pegawai bisa membuat karyawan merasa terasing, menimbulkan apatis, hingga berujung pada silent quitting," jelas Fajrianthi.
Sebagai penyelesaiannya, dia menyarankan beragam metode yang bisa mendukung pemulihan semangat dan partisipasi dalam pekerjaan, antara lain dengan meningkatkan dukungan dari perusahaan, mengoptimalkan manajemen, menyempurnakan alur informasi, serta menerapkan kebebasan dan kelentanan tugas bagi para pegawai.
Posting Komentar