Uang atau Harga Diri, Saat "Ditanggung Suami" Jadi Jerat Tak Kasat Mata

Daftar Isi

Pada sebuah meja makan, seorang istri menghela napas sambil melihat tagihan yang menumpuk. Suaminya, dengan nada ringan, berkata, "Tenang, aku masih bisa mengatasi semuanya."

Kalimat itu terdengar manis, tapi bagi sebagian ibu rumah tangga yang sudah lama tidak bekerja, itu bisa terdengar seperti borgol emas.

Banyak perempuan memilih menghentikan pekerjaannya setelah menikah atau memiliki anak. Keputusan itu sering diambil dengan kepercayaan bahwa keluarga adalah prioritas utama.

Tapi, waktu berlalu, anak-anak mulai tumbuh, dan sesuatu yang semula seperti pilihan mulai berubah menjadi keterbatasan. Rasa ingin produktif kembali muncul, bukan hanya karena uang, tetapi juga karena harga diri yang mulai hilang di mata pasangan dan lingkungan.

Pernahkah kita bertanya, mengapa banyak ibu rumah tangga yang ingin bekerja kembali meskipun keuangan keluarganya sudah cukup baik? Jawabannya sederhana: eksistensi diri.

Perempuan yang dulu mandiri sekarang merasa terperangkap dalam narasi "pengasuh rumah tangga", kehilangan kekuasaan dalam pembicaraan keuangan, dan secara perlahan menjadi pihak yang hanya "ditanggung" dalam ekonomi rumah tangga.

Ketergantungan Finansial: Berkah atau Jerat?

Ketika seorang perempuan menikah dan berhenti bekerja, ketergantungan finansial pada suami mungkin terasa wajar karena rumah tangga dibangun bersama. Suami bekerja di luar, sementara istri mengurus rumah. Sebuah hubungan yang seimbang, bukan?

Tapi ada garis tipis antara berbagi tugas dan kehilangan kendali atas diri sendiri. Ketika seorang perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri, sering kali ada rasa sungkan untuk meminta lebih.

Ada rasa takut akan keborosan, ada perasaan bersalah jika ingin membeli sesuatu untuk diri sendiri. Bahkan di rumah tangga yang sehat, ketergantungan finansial bisa menghasilkan ketimpangan kekuasaan yang tidak disadari.

Dalam jangka panjang, ini bisa mempengaruhi kesehatan mental. Menurut Asosiasi Psikologi Amerika, wanita yang tidak memiliki kemandirian finansial lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, bahkan mengalami krisis identitas. Banyak istri yang merasa "tidak berhak" mengambil keputusan besar karena semua penghasilan berasal dari suami.

Ironisnya, di banyak kasus, suami seringkali malah memperburuk situasi. Mereka merasa sudah melakukan yang terbaik dengan memenuhi kebutuhan materi, tanpa menyadari bahwa istrinya tidak hanya membutuhkan uang, tetapi juga ruang untuk tetap merasa mandiri.

Kapan "Ditanggung Suami" Menjadi Masalah?

Tentu saja, ada pernikahan yang berjalan harmonis dengan konsep istri yang sepenuhnya mengandalkan suami dalam hal keuangan. Tetapi ada juga situasi di mana "ditanggung suami" berubah menjadi batasan yang menghambat perkembangan pribadi.

Jika seorang istri mulai merasa bahwa uang bukan lagi sekadar alat, tetapi alat kontrol; jika keputusan besar dalam keluarga hanya bisa diambil oleh suami; jika ada rasa takut atau ragu untuk meminta sesuatu karena semua berasal dari penghasilan pasangan, maka di sinilah ketergantungan finansial menjadi jerat.

Bahkan, tanpa sadar, beberapa suami mulai meremehkan istri mereka. Dari komentar kecil seperti, "Kamu kan di rumah aja, gak perlu pusing soal uang," hingga sikap yang lebih besar seperti tidak melibatkan istri dalam keputusan investasi atau pembelian aset keluarga.

Yang lebih menyedihkan, ada wanita yang bertahan dalam hubungan toksik atau bahkan kekerasan rumah tangga karena tidak punya kemampuan untuk keluar. Uang suami menjadi ikatan tak kasat mata yang membuat mereka tidak punya pilihan lain.

Bertahan Sendiri Tanpa Harus Kembali ke Kantor

Lalu, bagaimana solusinya? Tidak semua ibu rumah tangga dapat langsung kembali ke dunia kerja konvensional. Ada yang terhalang usia, modal, ada yang kesulitan menyesuaikan kemampuan dengan perkembangan zaman, ada juga yang masih memiliki tanggung jawab besar untuk mengurus anak.

Tetapi mandiri finansial tidak berarti harus kembali ke kantor. Banyak ibu rumah tangga yang sukses membangun sumber pendapatan dari rumah, memanfaatkan teknologi, keahlian yang ada, dan pengalaman hidup. Ada yang menjadi freelancer, ada yang membuka bisnis kecil, ada yang membangun personal brand di media sosial.

Yang paling penting bukan hanya besarnya penghasilannya, tetapi rasa memiliki kendali atas hidup sendiri. Memiliki penghasilan, meskipun kecil, bisa mengubah cara seorang wanita melihat dirinya sendiri, bagaimana ia dihormati dalam rumah tangga, dan bagaimana ia bisa berdiskusi sebagai mitra sejajar dalam keuangan keluarga.

Suami yang bijak tidak hanya "menanggung" istrinya secara finansial, tetapi juga mendukung kemandiriannya. Pernikahan yang sehat adalah pernikahan di mana kedua pasangan bisa berdiri sama tinggi, bukan hanya dalam cinta, tetapi juga dalam kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing.

Uang Bisa Dicari, Nilai Diri Tidak

Akhirnya, perdebatan tentang istri yang ingin kembali bekerja bukan sekadar tentang uang, tetapi tentang harga diri. Tidak ada yang salah jika seorang suami bertanggung jawab dalam finansial, tetapi ada yang salah jika seorang perempuan merasa kehilangan suara karena itu.

Karena di dalam rumah tangga, istri bukanlah beban yang harus "ditanggung". Ia adalah mitra yang perlu dihormati, didukung, dan diberdayakan.

Karena uang bisa dicari, tapi harga diri: sekali hilang, susah untuk dikembalikan.

Posting Komentar