Kotagede, Peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang Mulai Tergerus Peralihan Zaman

Daftar Isi

Kotagede, warisan Kerajaan Mataram Islam dan ibukotanya di masa lampau. Sekarang terancam lenyap, wajah aslinya mulai tergerus oleh perubahan zaman.

---

---

Sebagai kota budaya, Yogyakarta sebenarnya kaya karena memiliki harta tak ternilai bernama Kotagede. Kawasan yang dulunya merupakan ibukota kerajaan Mataram Islam itu (sejak 1586) kini memang hanya nama sebuah kecamatan.

Tapi keberadaannya memiliki andil besar dalam putaran roda perekonomian Yogyakarta. Terutama dari kerajinan rakyat yang merupakan warisan budaya masa lampau.

Denyut Kotagede terasa sepanjang ruas jalan Pasar Kotagede, dari Jl. Kemasan, Mondorakan, hingga Tegal Gendu. Toko-toko berderet yang biasanya menampilkan hasil kerajinan perak, diantaranya berseling dengan berbagai jajanan khas daerah ini.

Keberadaan perak di Kotagede dikatakan tidak lepas dari Raja Mataram di masa lampau. Versi Muhammad Natsier, peneliti dari Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwisata Kotagede, masyarakat kala itu terbiasa melayani kebutuhan peralatan makan dari perak untuk raja.

Perak diyakini dapat mendeteksi racun. "Jika minum air dari gelas perak, warna air akan berubah jika mengandung racun," kata Natsier.

dan perak solid Adalah kerajinan benang perak yang disusun dalam rangkaian.

Merupakan kerajinan perak yang umum seperti cincin, kalung, hingga tas.

Karena mahalnya bahan dasar perak, pengrajin membuat kerajinan berbahan dasar tembaga yang dilapis dengan perak atau yang biasa disebut silver-plated. Harganya lebih terjangkau.

Meskipun demikian, pasar perak masih lesu karena krisis keuangan global. Para pengrajin perak kemudian banyak yang beralih pekerjaan, yang menjadi ancaman bagi kelangsungan perak di Kotagede.

Di Kotagede juga terdapat peninggalan Kerajaan Mataram Islam lainnya, yaitu makanan yang dikenal sebagai kipo Makanan tradisional ini berukuran sebesar jempol orang dewasa, terasa kenyal, gurih, dan manis.

Bahan utamanya tepung ketan, santan sebagai kulit kipo dan enten-enten yang terbuat dari parutan kelapa muda serta gula merah. Konon, asal katanya dari sebuah pertanyaan: iki opo ? (ini apa?).

Biasanya kopi langsung dijual setelah matang dan masih hangat. Jika sudah dingin atau dibiarkan dalam udara terbuka, akan terasa keras.

Tapi kalau pembeli mau menyimpan disini, bisa dipanaskan lagi dengan wajan anti lengket atau microwave "Ia bisa bertahan sampai dua hari," ujar Istri Rahayu, pengelola toko jajanan pasar Bu Djito, yang sudah tiga generasi berdagang.

Jika ingin lebih awet, pilihan jajanan adalah yangko Makanan dari tepung ketan dan gula pasir ini lebih tahan lama, bisa bertahan selama sebulan.

"Pembuatan makanan itu sendiri membutuhkan waktu satu hari, dengan rasa serai, cokelat, durian, dan kacang," jelas Suhardjono, pemilik Yangko SHD yang mengaku yangko tersebut merupakan resep warisan leluhur.

Sebagai bekas pusat pemerintahan, Kotagede juga menyimpan potensi pariwisata sejarah. Di sini terdapat makam pendiri kerajaan Mataram, peninggalan arkeologis seperti altar raja, Masjid Besar Mataram serta Seliran atau tempat mandi para selir raja.

Dari sisi perencanaan kota, masih dipengaruhi oleh pola konsep tradisi Jawa, yaitu istana, alun-alun, masjid, dan pasar. Rumah-rumah berarsitektur tradisional tetap banyak seperti panggang-pe, limasan, hingga joglo.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak perubahan terjadi pada karakteristik Jawa Kotagede, terutama pada rumah tradisional. Hal ini disebabkan oleh maraknya bangunan modern serta beberapa lagi hilang setelah terjadinya gempa di DIY pada bulan Mei 2006 yang lalu.

"Perhatian pemerintah untuk memperbaiki joglo yang rusak sangat kurang. Padahal, joglo juga merupakan bagian dari warisan budaya," katanya.

Dia menambahkan, banyak peneliti dari seluruh dunia datang ke Kotagede untuk mempelajari kebudayaan di sana. "Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Kotagede di mata dunia," katanya.

Jadi, terpulang kepada kita, apakah rela membiarkan Kota Kotagede digerus oleh zaman?

Sejarah singkat Kotagede

Menurut Kompas.com, Kotagede merupakan salah satu kecamatan di Yogyakarta yang merupakan daerah budaya dan situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam.

Kotagede merupakan saksi nyata perkembangan peradaban tertua di Yogyakarta yang memiliki peninggalan bangunan bersejarah serta arsitektur kuno Kerajaan Mataram Islam.

Kota Kotagede saat ini terdiri dari tiga kelurahan, yaitu Rejowinangun, Prenggan, dan Purbayan.

Sejarah Kotagede dapat ditelusuri dari kisah Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang di Jawa Tengah. Sekitar pertengahan abad ke-16, Sultan Hadiwijaya memiliki musuh Arya Penangsang dari Jipang.

Arya Penangsang akhirnya dapat dikalahkan oleh Ki Ageng Pemanahan. Ia menerima hadiah dari Sultan Hadiwijaya berupa tanah perdikan di hutan Mentaok (sekarang Kotagede) atas jasanya.

Tanah tersebut pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang telah hancur dan menjadi hutan lebat. Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan melakukan pembukaan lahan, atau yang disebut dengan pembabatan hutan.

Hutan Mentaok menyebar dari utara timur Yogyakarta saat ini, mencakup wilayah Purwomartani, Banguntapan, hingga Kotagede.

Setelah berhasil menyiapkan lahan, Hutan Mentaok menjadi tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan bersama keluarga dan pengikutnya. Ki Ageng Pemanahan kemudian membangun wilayahnya menjadi desa yang makmur dengan status di bawah Kerajaan Pajang.

Pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan meninggal dan tanggung jawabnya diambil alih oleh putranya, Danang Sutawijaya atau yang dikenal kemudian sebagai Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Mataram Islam setelah mengalahkan Kerajaan Pajang. Kotagede menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, yang digunakan sebagai pusat kegiatan politik, sosial, budaya, keagamaan, maupun pusat ekonomi masyarakat.

Pada tahun 1587, Mataram Islam menjadi kerajaan yang terkenal di Pulau Jawa yang menganut konsep Catur Gatra Tunggal. Catur Gatra Tunggal adalah konsep untuk mengelola kota, seperti kota-kota lain yang memiliki keraton.

Konsep ini terdiri dari empat bangunan utama, yaitu keraton sebagai tempat tinggal raja, pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat, alun-alun sebagai ruang publik, dan masjid sebagai tempat beribadah.

Bagian-bagian tersebut menggambarkan aspek-aspek dalam sebuah kota, seperti politik, ekonomi, sosial, maupun keagamaan.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan ke Kerto, yang berjarak sekitar 4,5 kilometer sebelah selatan Kotagede.

Sementara itu, wilayah Kotagede menjadi tempat perdagangan penduduk, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pasar Gede. Akibat pindahnya ibu kota, Kotagede dapat dibilang mengalami penurunan eksistensi.

Namun, pada sekitar tahun 1920-1930, muncul perajin perak dan para pengusaha yang membawa Kotagede ke masa keemasannya. Dari kerajinan perak ini, Kotagede disebut Kota Perak, yang industri peraknya masih dapat ditemui hingga saat ini.

Saat ini, bagian dari wilayah Kotagede secara administratif termasuk dalam wilayah Kota Yogyakarta (Prenggan dan Purbayan) dan bagian lainnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul (Jagalan dan Singosaren).

Sebagai situs bersejarah, Kotagede menyimpan beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Beberapa di antaranya adalah Situs Watu Gilang, Pemandian Sendang Seliran, Masjid Gedhe Mataram, dan Benteng Cepuri.

Selain itu, terdapat juga Makam Raja Mataram, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Sayangnya, bangunan yang berupa keraton atau istana Kotagede hampir tidak ada lagi. Hal ini kemungkinan besar karena keraton itu kosong setelah ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan beberapa kali.

Posting Komentar