Jelajah Masjid-masjid bergaya Tionghoa di Jakarta bareng Koteka dan Wisata Kreatif Jakarta

Daftar Isi

Masjid adalah tempat suci untuk beribadah bagi umat Islam. Masjid digunakan sehari-hari untuk Teh, kontemplasi, belajar, dan menjadi tempat untuk menunjukan rencana singkat seseorang yang muslim. Kita melangkah ke awal bulan Februari tahun 2025 kemarin, saya bertemu dengan Tur Masjid-Masjid bergaya Tionghoa diadakan oleh Koteka bekerja sama dengan Wisata Kreatif di Jakarta. Acara ini merupakan salah satu rangkaian Festival Kebhinekaan ke delapan.

Ada sekitar empat masjid yang kami kunjungi dan semua lokasinya berada di wilayah Jakarta. Yaitu Masjid Lautze Pasar Baru, Masjid Jami Angke Al Anwar, Masjid Babah Alun WIKA, dan Masjid Ramlie Musofa. Saya menggunakan KRL untuk sampai ke lokasi pertemuan pertama, yaitu Masjid Lautze Pasar Baru yang terletak di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Dari aspek luar bangunan yang berwarna merah dan kuning, sudah kentara sekali unsur-unsur Tionghoa. Masjid ini diresmikan oleh Bapak Presiden B.J. Habibie pada tanggal 4 Februari 1994. Di dalam mesjid ada banyak tulisan kaligrafi Al Qur'an, juga disajikan dalam terjemahan bahasa Mandarin. Di lantai 2 pun terdapat banyak kaligrafi yang serupa, ada juga lampion dan bahkan tempat wudu dan WC bertemakan warna merah yang dicampur dengan kuning. Warna tersebut memiliki makna keberuntungan bagi komunitas Tionghoa.

Sebelum berangkat ke lokasi kedua, saya bersama teman-teman sempat mencicipi mie ayam yang tersedia di samping masjid. Rasa yang cukup lezat. Ditambah kuah dengan tambahan kwetiau dan pangsit membuat kami kembali bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Kami kemudian berangkat bersama menuju Masjid Jami Angke Al Anwar. Untuk pergi ke sana, awalnya rencana adalah memesan gocar/grabcar. Namun karena ada dua orang peserta yang datang dengan mobil, akhirnya kami menggunakan mobil kedua peserta tersebut untuk menghemat pengeluaran penggempan.

Masjid kedua adalah Masjid Jami Angke Al Anwar, lebih dikenal juga sebagai Masjid Jami Pekojan, dengan usia sekitar 4 abad. Masjid yang terletak di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini diyakini dibangun oleh sekelompok orang Bali di Batavia pada tahun 1761. Arsitektur Tionghoa yang masih menonjol di masjid ini dapat dilihat pada bagian atap dan pintu masjid. Permukaan atap masjid terlihat melengkung dan serupa dengan atap rumah Cina. Namun, orang-orang Bali yang diyakini ikut membangun masjid kebanyakan hari ini tak lagi tinggal di sana. Banyak orang yang menetap di tempat itu adalah orang asli Angke atau orang Tionghoa yang telah tinggal di Angke sejak lama.

Di dekat masjid terdapat komplek makam yang menempatkan Pangeran Syarif Hamid Al Kadri, seorang keturunan Pengasuh Kesultanan Pontianak, Pangeran Syarif Abdurrahman Alkadrie. Di belakangnya terletaklah makam Ratu Pembayun Fatimah, putri dari Sultan Maulana Hasanuddin, Pembesar Kesultanan Banten. Juga di komplek tersebut, sedikit di belakang terdapat makam Syekh Jaffar, kisahnya anak dari Pangeran Tubagus Angke. Ditambah lagi ada banyak individu lainnya yang dimakamkan di komplek pengebumian tersebut. Mereka adalah para perjuang dan pejuang kemerdekaan Islam yang telah turut membantu menyebarluaskan agama Islam dan membantu Pangeran Tubagus Angke melawan penjajah.

Dari Angke Jakarta Barat, kami melanjutkan perjalanan untuk menjelajahi masjid ketiga, yaitu Masjid Bubah Alun Wijaya Karya, yang dibangun oleh seorang mualaf, Bapak Yusuf Hamka. Lokasinya terletak di bawah Jembatan Tol Ir. Wiyoto, di Jalan Pasir Putih, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Awalnya, bangunan ini merupakan musola, namun sekarang telah difungsikan sebagai masjid karena di daerah itu kurangnya fasilitas peribadatan Islam sehingga banyak pekerja di Ancol yang berlalu-lalang ke sana untuk melakukan Salat lima waktu dan Salat Jum'at. Nuansa Tionghoa nyata terasa dalam desain masjid yang menyerupai bangunan Tiongkok, khususnya di bagian atap, dinding, dan tiang. Warna-warna dominan digunakan adalah merah, hijau, kuning, dan putih gading, warna-warna yang khas untuk kebudayaan Tionghoa.

Di dalam masjid juga terdapat Asmaul Husna dalam bahasa Arab yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Mandarin. Terdapat pula lampion dan terjemahan bahasa Mandarin di pintu toilet pria dan wanita. Dari seberang masjid kita juga dapat melihat gedung Jakarta International Stadium karena, seperti diketahui, lokasinya tidak terlalu jauh dari masjid ini.

Masjid paling akhir yang kami kunjungi adalah Masjid Ramlie Musofa yang terletak di daerah Sunter Jakarta Utara. Terinspirasi dari bangunan megah yakni Taj Mahal di India, warna masjid ini dominan putih. Ada tulisan ayat-ayat Al-Qur'an di-langkan dinding masjid disertai dengan terjemahan Mandarin. Yang cukup unik adalah di tempat wudu masjid baik untuk pria maupun wanita, disediakan gambar-gambar di dinding yang ditujukan untuk pedoman berwudhu bagi para mualaf agar mereka mengerti tentang cara berwudhu yang benar. Masjid ini dibangun oleh mualaf yang bernama Haji Ramli Rasidin. Nama masjid ini diambil dari inisial pendiri dan keluarga lainnya, yakni Ramli, istrinya Lie, dan anak-anaknya, yaitu Muhammad, Sofian, dan Fabian (Ramlie Musofa).

Nota: Text aslinya tidak memerlukan perubahan.

Posting Komentar