Saat Yogyakarta Dilabeli Pusat Alam Semesta oleh Jurnalis New York Times

Daftar Isi

Bukan rahasia lagi bahwa Yogyakarta memiliki kesan unik bagi siapa yang pernah menghabiskan waktu beberapa lama di Kota Gudeg itu.

Tanyakan saja kepada mahasiswa-mahasiswi lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta, sebagian besar dari mereka malu meninggalkan kota Jogja dengan berbagai alasan, seperti budaya, gaya hidup, serta kenyamanan.

Secara dilaporkan oleh kompas.com, Jurnalis New York Times, Scott Mowbray menggambarkan Kota Yogyakarta sebagai sebuah wilayah yang kaya akan peradaban budaya dan ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh keluarga kerajaan.

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Menerima Sertifikat Inskripsi Sumbu Filosofis sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO

Bahkan, Mowbray menyebut Yogyakarta sebagai "Center of The Universe" atau pusat alam semesta.

Saat menempuh perjalanan udara, dia menangkap hasil survei topografi daerah yang dikenal sebagai "Kota Pelajar" itu secara nyata.

Kali pertama, Mowbray terkejut karena ada ladang sawah yang indah pemukiman penduduk di sekitarnya, ditutupi oleh hamparan dedaunan hijau dan hutan perbukitan.

"Kemudian kota yang berdengung dan padat berkembang yang tropis dan hangat," tulisnya, disutradarai oleh New York Times, Senin (27/1/2025).

Werdiyaningsih et al. beberapa kali mengunjungi Yogyakarta sejak 1980-an.

Kembali ke Yogya karena menjadi salah satu sites Warisan Dunia UNESCO tahun 2023.

Menurutnya, hampir tidak ada turis asing yang datang ke Bali kemudian melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

Padahal tak kalah menarik dengan Bali, Yogyakarta juga merupakan kota besar yang menawarkan inspirasi yang menarik bagi fermentasi budaya dan intelektual yang ingin dipelajari.

Keraton Jogja menjelaskan kondisi alam sumbu filosofis Merapi hingga Pantai Selatan hancur

Dalam lawatannya selama lebih dari dua minggu, hal pertama yang diperhatikan Scott saat mendarat di Yogyakarta ialah sebuah lereng parkiran motor dan berdirinya pedagang kaki lima seperti gudeg dan sate di sekitarnya yang sudah legendaris.

Di sana terdapat warung-warung kecil, serta juga beberapa restoran yang berdiri.

"Tidak ada satu pun jalan, gang, atau trotoar yang tidak dilapisi spanduk yang menggambarkan bahwa gudeg ini (rebusan nangka) memiliki resep yang sempurna, atau bahwa di sini ada sate 'legendaris' kambing muda," tulis Mowbray.

Dia memulai dengan mencicipi kuliner khas Yogyakarta, seperti bakmi goreng, ayam goreng kampung, hingga wedang jahe dan gula aren, bungkos, rebusan kulit kelapa dan susung sapi, tahu, telur rebus dan ramuan melinjo di warung Griya Dhahar.

Dia kemudian melanjutkan ke museum dan galeri seni, pertunjukan seni kontemporer, pasar pagi, kedai kopi khas barista, serta pertunjukan tari klasik.

Mowbray melakukan perjalanan ke Yogya yang juga dipengaruhi oleh status Yogyakarta sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2023 lalu yang disebut Sumbu Kosmologis.

Dia kemudian mengunjungi situs-situs yang merepresentasikan rincian dan simbol campuran sinkretis dari kepercayaan animisme, Hindu, Buddha, dan Islam.

Itulah alasannya ia menyatakan bahwa pluralisme tersebut menempatkan Yogyakarta di pusat dunia alam semesta.

Mowbray kemudian mengunjungi Taman Sari yang juga dikenal sebagai Kastil Air, yang didirikan pada abad kedelapan belas oleh sultan sebagai tempat untuk mandi, meditasi, dan ritual keagamaan.

Setelah itu, saya pergi ke Kraton, Museum Sonobudoyo, dan tidak lupa dengan dua kuil besar Hindu Buddha, yaitu Candi Prambanan dan Candi Borobudur.

Selain itu, Mowbray juga melakukan eksplorasi pasar dan tempat ibadah yang sudah terkenal.

Posting Komentar